Oleh: Firdaus Putra, HC.
Di Amerika orang mendirikan koperasi bisa memilih beberapa badan hukum. Democracy at Work Institute (DAWI) merilis panduan “Choosing a Business Entity, A Guide for Worker Cooperatives”. Panduan dasar itu memberi beberapa opsi entitas yang dapat dipilih. Ada 6 opsi yang tersedia yaitu Cooperative Corporations, C Corporations, S Corporations, B Corporation, General Partnerships dan LLCs.
Dalam menentukan pilihan, orang perlu memperhatikan implikasi pada isu-isu penting seperti perpajakan, hukum ketenagakerjaan, dan akses ke modal, terang DAWI. Panduan singkat itu juga memberi ulasan plus-minus setiap entitas untuk menjalankan model koperasi pekerja (worker coop) di sana.
Meski tidak menggunakan Cooperative Corporation, entitas tersebut akan tetap disebut koperasi sejauh dalam anggaran dasarnya mereka mengadopsi nilai dan prinsip koperasi. Di situlah mengapa International Cooperative Alliance (ICA) getol menjadikan nilai dan prinsip sebagai faktor pembeda mana yang koperasi dan bukan. Jadi bukan didasarkan pada jenis entitas atau badan hukumnya.
Lalu bagaimana di Indonesia? Apakah memungkinkan menggunakan entitas lain untuk membangun koperasi? Atau sekurang-kurangnya, berlandaskan nilai-nilai koperasi? Kolom ini bersifat hipotetis, yang tentu perlu ditelaah dan didiskusikan lebih lanjut.
Perseoran Terbatas
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) mendefinisikan PT sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Ada beberapa aspek kunci dalam definisi tersebut. Pertama, PT merupakan badan hukum, yang artinya terjadi pemisahan kekayaan antara pemilik dengan perusahaan. Kedua, didirikan berdasar perjanjian, yakni adanya akta otentik yang dibuat para pendiri di hadapan notaris. Ketiga, merupakan persekutuan modal, yakni basis pembentukannya adalah modal yang terbagi dalam saham. Keempat, memenuhi persyaratan sesuai UU PT.
Dari empat aspek kunci di atas, apa yang paling khas pada PT adalah ketentuan persekutuan modal. Hal itu yang secara diametral membedakannya dengan koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang (koperasi primer). Simpulannya, PT merupakan perusahaan berbasis modal (capital-based). Sedangkan koperasi merupakan perusahaan berbasis orang (people-based).
Konsekuensi PT sebagai pesekutuan modal terletak pada struktur kendali perusahaan. Di mana dipahami secara umum (common sense), pengambilan keputusannya berdasar prinsip one share one vote atau voting dengan ketentuan 1 saham 1 suara. Artinya siapa yang memiliki saham lebih banyak, berpeluang menang dari pada yang sedikit. Di mana untuk memiliki saham lebih banyak, kaprahnya, harus menyetor modal lebih besar.
Logika itu yang membuat PT menjadi bias pemilik saham (shareholder). Artinya kepentingan pemilik saham (yang banyak) akan cenderung menentukan ke mana arah kebijakan perusahaan. Alih-alih seperti koperasi yang memungkinkan berbagai suara setiap orang, dengan setoran modal sedikit atau banyak, tetap terartikulasi dalam pengambilan keputusan. Dalam cara pandang itulah PT menjadi semacam alergen dan membuat orang koperasi cenderung alergi.
Lantas bagaimana peluang untuk “mengkoperasikan” PT agar entitas tersebut lebih ko-operativistik? Atau bahkan menjadi opsi entitas bisnis dalam menjalankan koperasi sebagaimana di negara lain.
Eksplorasi Peluang
Bila baca seksama UU PT, ada beberapa hal menarik yang dapat kita elaborasi. Pertama pasal 84, “Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain”. Pasal itu menentukan aturan dasar bahwa setiap saham mempunyai 1 hak suara. Ketentuan itu berimplikasi pada logika pengambilan keputusan, 1 saham 1 suara.
Namun perhatikan frasa berikutnya, “kecuali anggaran dasar menentukan lain”. Penjelasan pasal itu yakni, “apabila anggaran dasar mengeluarkan satu saham tanpa hak suara”. Lalu penjelasan berikutnya, “Dalam hal anggaran dasar tidak menentukan hal tersebut, dapat dianggap bahwa setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara”. Artinya bila anggaran dasar tidak melakukan disclaimer, maka otomatis berlaku default setting 1 saham 1 suara.
Sebaliknya, bila para pendiri membuat disclaim, akan berlaku sebaliknya. Misalnya, diatur pada anggaran dasar dengan menyatakan “Setiap saham yang dikeluarkan tidak mempunyai hak suara”. Hal itu sah sebagaimana pasal di atas dan berlaku bagi saham biasa dan juga preferen. Sebabnya, pasal 84 tidak membedakan antara saham biasa dan preferen, artinya “saham” dalam pasal tersebut merujuk pada semua jenis saham di perseroan.
Disclaimer tersebut berimplikasi mengubah format dasar PT dari modal sebagai pengendali, menjadi bukan pengendali. Pertanyaan lebih lanjut, lantas bagaimana basis pengendalian atau pengambilan keputusan bila status saham dengan hak suara telah disangkal?
Mari kita baca pasal 87 ayat 1 yang berbunyi, “Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat”. Ya, pasal itu dapat menjadi solusi sehingga keputusan tetap dapat dibuat. Musyawarah mufakat adalah proses membahas suatu masalah secara bersama-sama untuk mencapai kesepakatan bersama. Kata kuncinya adalah “kesepakatan bersama” atau konsensus. Dalam terminologi ilmu politik, musyawarah mufakat identik dengan demokrasi deliberatif.
Pertanyaannya, bagaimana jika mufakat atau kesepakatan bersama tak bisa dicapai? Ayat 2 pasal 87 menyatakan, “Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar”.
Sederhananya pasal itu menentukan adanya mekanisme voting, yang sah bila disetujui oleh lebih dari separoh dari jumlah suara. Ketika saham tak lagi mempunyai hak suara sebagaimana eksplorasi di atas, maka voting dilakukan oleh para pemegang saham yang hadir dalam RUPS, yakni berdasar 1 orang 1 suara.
Dengan cara demikian kita sudah bisa mengubah corak persekutuan modal (capital-based) pada PT menjadi persekutuan orang (people-based). Di mana hal tersebut membuka kemungkinan filosofi dasar koperasi dapat diimplementasikan. Yakni perusahaan yang dikendalikan secara demokratis oleh anggotanya. Sedangkan aspek-aspek lainnya, dapat mengikuti UU PT sebagaimana yang berlaku.
Peluang Implementasi
Dalam sistem regulasi saat ini, “PT ko-operativistik” seperti di atas dapat menjadi solusi pengembangan koperasi pekerja. Koperasi pekerja (worker coop) adalah perusahaan yang dimiliki dan dioperasikan oleh karyawannya, yang memiliki hak yang sama dalam menentukan cara menjalankan bisnis dan berbagi keuntungan. Model ini cocok bagi generasi muda dengan value proposition menciptakan pekerjaan dan pendapatan.
Lantas mengapa “PT ko-operativistik” lebih menarik dari pada badan hukum koperasi? Seperti panduan DAWI di awal, setiap pilihan entitas memiliki implikasi yang perlu diperhatikan. Ada beberapa hal yang dapat kita eksplorasi mengapa “PT ko-operativistik” lebih menarik.
Pertama, “PT ko-operativistik” sebagaimana ketentuan, cukup didirikan oleh 2 orang. Berbeda dengan koperasi yang didirikan minimal oleh 9 orang. Hal itu berimplikasi pada bagaimana bisnis tumbuh dan berkembang secara organik. Bisnis tumbuh dari mikro, kecil sampai kemudian membesar seturut dengan kinerja dan waktu.
Pengalaman Spanyol bahkan menunjukkan Small Cooperative Company (SCC) yang didirikan oleh 2 orang, bekerja efektif. Dulu tahun 1993, pendiriannya disyaratkan 5 orang, lalu diturunkan menjadi cukup 3 orang pada tahun 2000. Kembali diturunkan menjadi 2 orang melalui Small Cooperative Company Law No. 6/2008.
Pada fase inkubasi “PT ko-operativistik” akan fokus pada pengembangan bisnis tanpa dibebani oleh politik organisasi. Berbeda misalnya dengan koperasi, di mana harus menyamakan visi dan persepsi antara 9 orang. Hal itu potensial membuat beban organisasi menjadi lebih dominan dari pada bisnis.
Kedua, secara hipotetis, pertumbuhan anggota “PT ko-operativistik” akan cenderung selaras dengan perkembangan bisnis. Di mana pasal 43 ayat 3 huruf a UU PT mengatur “Penawaran (saham untuk penambahan modal) tidak berlaku dalam hal pengeluaran saham ditujukan kepada karyawan perseroan”.
Hal di atas menunjukkan bahwa PT dapat memprioritaskan kepemilikan saham, kapan pun, kepada karyawan dalam skema Employee Stock Ownership Plan (ESOP). Saat itulah para karyawan menjadi member-owner perusahaan tersebut. Dengan cara seperti itu anggota koperasi pekerja tumbuh dari 2 menjadi 3 dan seterusnya.
Ketiga, penambahan anggota seperti di atas cenderung sehat karena setiap karyawan yang memiliki saham harus menyetorkan modal. Misalnya secara otomatis dipotong dari gaji bulanan yang bersangkutan untuk jangka waktu tertentu. Di luar itu yang bersangkutan dapat menyetor tunai dari dana yang dimilikinya.
Hal itu membuat potensi free rider, yang banyak terjadi pada koperasi, berkurang. Free rider atau penunggang gelap terjadi ketika anggota menikmati layanan koperasi, namun di sisi lain tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang ditentukan. Model “PT ko-operativistik” lebih dapat menghalau praktik semacam itu.
Keempat, mengikuti ketentuan UU, “PT ko-operativistik” dapat lebih fleksibel dalam pengalihan pemilikan saham. Yang mana hal itu belum bisa dilakukan pada koperasi berdasar UU yang ada saat ini. Misalnya pada kasus di mana karena kebutuhan tertentu, seorang karyawan atau pemilik saham membutuhkan dana tunai. Solusinya, yang bersangkutan dapat menjual sahamnya kepada anggota lain.
Pun bisa juga “PT ko-operativistik” menerbitkan saham seri tertentu, yang ditujukan misalnya hanya bagi kelompok investor yang tak terlibat sebagai pekerja. Sehingga dalam kasus di atas, pengalihan dapat dilakukan lebih leluasa sejauh siapa yang memiliki saham menerima ketentuan dasar, bahwa semua saham tidak mempunyai hak suara. Serta ketentuan-ketentuan lain yang dapat diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar.
Kelima, keanggotaan pada “PT ko-operativistik” dapat tumbuh sampai maksimal 300 orang. Lebih dari itu, maka statusnya harus berubah menjadi perusahaan publik sebagaimana POJK No. 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Pada pasal 1 ayat 18 menyatakan, “Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki paling sedikit oleh 300 pemegang saham dan memiliki modal disetor paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan”. Lebih dari itu, PT harus menjadi perusahaan terbuka yang diatur oleh OJK.
Ketentuan di atas mengisyaratkan rata-rata 1 anggota menyetor modal Rp. 10 juta rupiah, bila koperasi pekerja itu beranggotakan 300 orang. Dengan ketentuan modal disetor sampai Rp. 3 miliar, bisa kita bayangkan aneka usaha yang dapat mereka kembangkan. Sebut misalnya mereka bersama-sama mendirikan café and eatery, barbershop, laundry, equipment rental, store, creative agency, agribusiness, accessories and merchandise dan lain sebagainya.
Telisik di atas menggambarkan “PT ko-operativistik” cukup realistis digunakan sebagai alternatif bagi pembangunan koperasi pekerja di Indonesia. Tak hanya secara tata kelola dapat diselaraskan dengan filosofi dasar koperasi, namun secara bisnis dapat tumbuh lebih sehat linier dengan pertumbuhan basis anggotanya.
UU Perkoperasian
Tentu idealnya “PT ko-operativistik” sebagai exit strategy tak perlu ada bila UU Perkoperasian dapat mengakomodir intensi dan proposisi koperasi yang ramah bagi anak muda. Hal itu dapat dilakukan dengan cara mengatur ketentuan pendirian koperasi berdasar sektor usaha seperti di Singapura, misalnya.
Sebagai contoh, pendirian koperasi simpan pinjam dapat disyaratkan minimal 20 orang. Kemudian koperasi non simpan pinjam 9 orang. Lalu koperasi pekerja atau wirausaha, 3 orang. Pengaturan seperti itu dapat mengakomodasi intensi serta proposisi dari berbagai kelompok demografi dan profesi berbeda.“Act always so as to increase the number of choices”, kata von Foerster. Saya kira itulah sikap yang baik bagi Pemerintah.
Selengkapnya baca tulisan saya: https://money.kompas.com/read/2024/08/14/150448626/koperasi-primer-tiga-orang-legal-bersyarat
Saya pribadi berharap UU Perkoperasian bisa menampung proposal di atas sehingga “PT ko-operativistik” tak perlu ada. Namun bila tidak, saya kira ruang eksperimentasi terbuka lebar untuk uji coba. Para milenial dan zilenial yang demen berko-operasi namun terkendala regulasi bisa mengadopsinya. Seperti orang bilang “If plan A doesn’t work, the alphabet has 25 more letters”. []
Sebelumnya telah dimuat di Kompas.com, klik di sini.
Tinggalkan Balasan