,

Kapitalisme Teknologi dan Metamorfosa Homo Cooperativus

Di dunia yang terus berubah, organisasi koperasi—bentuk ekonomi yang lahir dari semangat kolektivitas dan moralitas—menghadapi tantangan besar. Dalam artikel “European Cooperations in Transition – The Metamorphosis of Homo Cooperativus”, Philippe Daudi dan Richard Sotto (1986), terbit di Scandinavian Journal of Management, mengeksplorasi metamorphosis yang dialami koperasi akibat tekanan kapitalisme teknologi yang mendominasi dunia Barat ⊕.…

By.

min read

hc

Di dunia yang terus berubah, organisasi koperasi—bentuk ekonomi yang lahir dari semangat kolektivitas dan moralitas—menghadapi tantangan besar. Dalam artikel “European Cooperations in Transition – The Metamorphosis of Homo Cooperativus”, Philippe Daudi dan Richard Sotto (1986), terbit di Scandinavian Journal of Management, mengeksplorasi metamorphosis yang dialami koperasi akibat tekanan kapitalisme teknologi yang mendominasi dunia Barat .

Penulis berfokus pada perubahan mentalitas homo cooperativus—yakni orang atau pelaku utama dalam koperasi—dan bagaimana karakteristik khas koperasi, yang berakar pada “mentality, ideality and morality,” mulai terkikis. Berdasarkan temuan empiris di Inggris dan Prancis, mereka menunjukkan munculnya generasi baru homo cooperativus yang lebih pragmatis, yang terpaksa mengadaptasi aksi mereka untuk bertahan dalam lingkungan kompetitif modern.

Meski jurnal di atas telah berumur 30 tahun, kami melihat analisa Daudi dan Sotto masih relevan dibaca saat ini. Di mana koperasi saat ini menghadapi tantangan yang sama, kapitalisme teknologi, yang diaktivasi oleh berbagai perusahaan startup dan disokong venture capitalist. Artikel Daudi dan Sotto mengajak kita untuk berefleksi tentang dinamika hitam-putih homo cooperativus dalam merespon tantangan.

Metamorfosis dan Mentalitas Baru

Bayangkan sebuah koperasi sebagai sebuah desa kecil yang damai, di mana setiap keputusan diambil bersama melalui diskusi panjang untuk memastikan semua suara didengar. Ini adalah gambaran ideal koperasi pada masa lalu, di mana demokrasi dan partisipasi adalah inti identitasnya. Namun, dunia di sekitar desa itu kini telah berubah menjadi kota metropolitan yang sibuk, penuh dengan persaingan dan kebutuhan akan kecepatan.

Dalam situasi ini, Daudi dan Sotto mengamati bahwa koperasi sedang mengalami metamorfosis. Mereka menulis, “The homo cooperativus has to redefine his logic of action in order to cope with the necessity of accumulating financial, intellectual and political capital.” Artinya, homo cooperativus tidak lagi bisa hanya mengandalkan semangat kolektif; ia harus beradaptasi dengan logika bisnis yang menuntut efisiensi.

Perubahan ini terlihat pada dua level: diskursif dan praktis. Pada level diskursif, wacana koperasi mulai bergeser dari cita-cita mulia menuju bahasa yang lebih praktis dan manajerial. Pada level praktis, koperasi menghadapi masalah nyata seperti “declining sales, low productivity and sometimes poor product quality,” yang mendorong mereka untuk mencari solusi dalam teknik manajemen—sesuatu yang sebelumnya dianggap asing.

Ketegangan muncul dari dualitas antara “the necessity of safeguarding, at any cost, democracy and participation” dan kebutuhan bisnis untuk bertindak “quickly and properly.” Sebagai ilustrasi, bayangkan seorang petani koperasi yang harus memilih antara menunggu semua anggota setuju untuk menjual hasil panen atau segera mengambil keputusan agar tidak kehilangan pasar. Dualitas ini memaksa koperasi untuk berkompromi, melahirkan mentalitas baru yang lebih fleksibel.

Tekanan Kapitalisme Teknologi

Kapitalisme teknologi, menurut Lucien Karpik yang dikutip penulis, adalah bentuk kapitalisme modern yang muncul sejak 1960-an. Berbeda dengan kapitalisme pedagang atau industri, bentuk ini memungkinkan perusahaan untuk “transform scientific inventions into economic goods,” menciptakan produk baru, dan bahkan mengendalikan nilai barang yang sudah ada.

Ini menciptakan lingkungan kompetitif yang diatur oleh kekuatan, di mana organisasi harus menguasai tiga jenis modal: finansial, intelektual, dan politik. Penulis menegaskan, “The accumulation of these three types of capital is thus at the core of the capitalist mentality particularly with regard to its technological form currently prevailing in the Western world.”

Bagi koperasi, tekanan itu seperti badai yang mengguncang kapal kecil mereka di tengah lautan luas. Mereka tidak bisa mengisolasi diri dari dunia kapitalis atau berharap pada “government favours” untuk bertahan. Sebagai contoh, sebuah koperasi ritel yang dulu hanya melayani anggotanya kini harus bersaing dengan supermarket besar yang menggunakan teknologi canggih untuk menarik pelanggan. Lingkungan ini bukan lagi pasar sederhana, tetapi “a space of interplay with a specific mentality dictating the criteria of success.” Koperasi dipaksa untuk bermain sesuai aturan kapitalisme teknologi, meskipun itu berarti meninggalkan beberapa nilai inti mereka, seperti independensi dari logika profit murni.

Mentalitas Homo Cooperativus

Mentalitas homo cooperativus adalah inti dari karakteristik organisasi koperasi, yang membedakannya dari organisasi kapitalis. Dalam artikel ini, Daudi dan Sotto menggambarkan mentalitas ini sebagai kombinasi dari kualitas dan moralitas yang tercermin dalam wacana koperasi selama hampir dua abad, terutama di Inggris, Prancis, dan Swedia.

Mentalitas ini bukan sekadar seperangkat prinsip ekonomi atau struktur organisasi, tetapi, seperti yang dicatat oleh Pfeiffer (1982), “a mentality carrying a specific mode of human conduct.” Penulis menegaskan bahwa mentalitas ini terlihat dalam “discourses of cooperation,” yang telah menjadi legitimasi historis koperasi sejak awal mula gerakan ini.

Kualitas Homo Cooperativus

Kualitas utama homo cooperativus adalah kemampuan untuk mengelola masalah mereka sendiri, yang dalam konteks Inggris disebut “self-help” dan di Prancis sebagai “autogestion.” Penulis mencatat, “In these discourses, the homo cooperativus is above all a social actor concerned, as far as it goes, with the management of his own problems by himself.” Ia adalah individu yang tidak mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan kesulitannya, melainkan memprioritaskan kapasitas pribadinya.

Namun, ketika batas kemampuannya tercapai, ia bersedia bekerja sama dengan orang lain yang memiliki kekhawatiran serupa. Sebagai ilustrasi, bayangkan seorang petani di koperasi yang memilih untuk memperbaiki alatnya sendiri daripada meminta bantuan luar, tetapi kemudian bergabung dengan petani lain untuk membeli traktor bersama karena ia tidak mampu membelinya sendiri.

Holyoake (1908), sejarawan besar koperasi, menambahkan bahwa hanya orang dengan “an independent spirit” yang tertarik pada bentuk koperasi. Ini menunjukkan bahwa mentalitas homo cooperativus tidak hanya tentang kerja sama, tetapi juga tentang otonomi dan tanggung jawab pribadi. Dalam wacana, ia digambarkan sebagai seseorang yang “mentally predisposed, to be responsible and to maintain his responsibility in all domains in which he is engaged.” Namun, penulis tidak dapat menentukan apakah kualitas ini ada sebelum bergabung dengan koperasi, muncul selama prosesnya, atau berkembang setelah pengalaman panjang—hanya menyatakan bahwa wacana menyuguhkan “an ideal sort of picture” yang berfungsi sebagai pemisah antara aktor koperasi dan non-koperasi.

Moralitas Homo Cooperativus

Aspek kedua dari mentalitas ini adalah moralitas, yang menempatkan pelayanan kepada manusia di atas akumulasi kapital. Holyoake (1908) melihat homo cooperativus sebagai individu yang mencari keuntungan pribadi hanya jika itu “consistent with equal advantages for others,” sementara Pfeiffer (1982) berargumen bahwa “the homo cooperativus could not view his associates as a means to his economic ends.” Sebaliknya, tujuan ekonominya adalah alat untuk melayani sesama aktor sosial. Ini menciptakan logika terbalik dibandingkan kapitalisme: “In cooperative organizations it is the work-force that hires the capital in order to retain the profit,” bukan kapital yang mempekerjakan tenaga kerja untuk mengambil keuntungan.

Sebagai contoh, bayangkan sebuah koperasi roti di mana keuntungan tidak dibagikan kepada investor luar, tetapi digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atau menurunkan harga bagi komunitas. Moralitas ini menjadi “mental map” yang memandu pilihan homo cooperativus dalam kehidupan ekonomi dan organisasinya, menekankan bahwa struktur organisasi bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk melayani manusia.

Variasi Budaya dan Pergeseran

Mentalitas ini bervariasi antar konteks budaya. Di Inggris dan Prancis, “self-help” dan “autogestion” diinterpretasikan dalam kerangka liberal yang menonjolkan individualitas dan tanggung jawab pribadi. Di Swedia, konsep “gemenskap” (komunitas) lebih dominan, di mana “the emergence and the prosperity of the collectivity is assured at the expense of the individual,” seperti yang dikutip dari Sartre (1960). Penulis mencatat bahwa di Swedia, kebaikan terletak pada kekuatan komunitas, bukan individu.

Seiring waktu, mentalitas ini bergeser dari deskriptif—cerminan realitas—menjadi preskriptif—norma yang ditekankan dalam wacana. Penulis mengamati, “From our discussions with the cooperators… the prescriptive ideality was very obviously stressed in their spoken discourses.” Pergeseran ini mungkin karena penyebaran ideologi koperasi dalam konteks sosial yang lebih luas, mengubahnya menjadi standar yang diucapkan tetapi tidak selalu dipraktikkan sepenuhnya.

Akumulasi Modal dan Kompromi Prinsip

Koperasi, seperti organisasi ekonomi lainnya, tidak dapat menghindari tekanan kapitalisme teknologi yang menuntut akumulasi modal finansial, intelektual, dan politik untuk bertahan. Penulis menegaskan, “The accumulation of the three types of capital indeed seems to be a sine qua non condition of survival for almost any organization engaged in the process of coping with the constraints which are produced under technological capitalism.” Proses ini memaksa koperasi untuk berkompromi dengan prinsip-prinsip mereka, mengubah mentalitas homo cooperativus dan praktik organisasi mereka.

a. Modal Finansial

Secara historis, koperasi dikenal sebagai “parent pauvre” (orang tua miskin) di antara organisasi ekonomi karena keterbatasan modal. Dana dari anggota sering kali tidak cukup, dan pinjaman dari bank konvensional sulit diperoleh karena masalah jaminan dan kredibilitas. Di Prancis, solusi datang melalui bank koperasi seperti Crédit Agricole, Crédit Mutuel, Crédit Cooperatif, dan Banques Populaires, yang membentuk “force de frappe” yang mendukung pengembangan koperasi.

Namun, untuk mengakumulasi modal, bank-bank ini mulai melayani publik umum dan perusahaan konvensional, mengurangi fokus pada anggota koperasi. Penulis mencatat bahwa Banques Populaires bahkan harus melakukan “significant efforts to recover a better membership basis,” menunjukkan paradoks di mana koperasi harus memasarkan diri untuk mempertahankan identitasnya.

Contoh nyata adalah peluncuran “Titre Participatif” oleh Crédit Cooperatif, sebuah saham baru untuk menarik modal risiko dari pasar saham, bukan hanya dari dunia koperasi. Penulis menyatakan, “This effort denotes a remarkable entry into the logic of capital accumulation which pushes conventional firms to appeal to the general public in order to strengthen their financial power.”

Langkah ini menjauhkan koperasi dari prinsip pembayaran bunga terbatas pada kapital, karena untuk menarik investor, saham ini mungkin harus menawarkan tingkat bunga yang kompetitif meskipun tidak memberikan kekuasaan kontrol. Sebagai ilustrasi, bayangkan koperasi kecil yang dulu hanya mengandalkan iuran anggota kini harus bersaing dengan perusahaan besar di bursa saham, sebuah dunia yang sebelumnya dihindari.

b. Modal Intelektual

Dalam kapitalisme teknologi, modal intelektual berarti kemampuan untuk mengubah pengetahuan menjadi keunggulan kompetitif, baik melalui inovasi produk maupun manajemen. Koperasi kini menyambut generasi baru homo cooperativus—”experts, professional managers, consultants, educators”—yang kurang terikat pada mentalitas tradisional. Penulis mengamati, “The archaic image of the cooperator necessarily belonging to the working class… has ceased to make sense,” digantikan oleh individu yang membawa “a new discourse, a modern one, reflecting their fascination for managerial techniques.”

Di Inggris dan Prancis, koperasi yang dulu memandang teknik manajerial sebagai “antipathetic towards their principles of democratic control” kini mengadopsinya dengan antusias. Program pelatihan di Cooperative College (Loughborough, Inggris) dan Centre de Formation de la Confédération Générale des SCOP (Paris) hampir tidak berbeda dari sekolah bisnis, menunjukkan pendekatan “pragmatic one where priority is given to the development of human resources.”

Sebagai contoh, sebuah koperasi manufaktur mungkin kini memiliki manajer terlatih yang fokus pada efisiensi produksi, bukan hanya petani atau pekerja biasa yang mengandalkan semangat kolektif. Meskipun ada kesadaran akan kontradiksi dengan nilai lama, koperasi membenarkannya dengan argumen seperti “management by participation,” meskipun konsep ini tidak eksklusif milik koperasi.

c. Modal Politik

Modal politik adalah kemampuan organisasi untuk mendapatkan keunggulan kompetitif melalui dukungan pemerintah. Koperasi di Inggris dan Prancis memanfaatkan sektor industri yang menurun—yang tidak menarik bagi sektor swasta atau publik—untuk mengatasi pengangguran dan memperkuat posisi mereka. Penulis mencatat bahwa koperasi menawarkan solusi kepada “a labour-force composed of skilled, mostly older workers, who have no employment alternatives,” yang “view their unemployment as a fundamental evil.” Di Prancis, ini menghasilkan penciptaan kementerian untuk ekonomi sosial di bawah pemerintahan sosialis, sebuah bukti “necessity felt by the movement to increase its political capital.”

Namun, langkah ini bertentangan dengan prinsip voluntarisme dan independensi dari negara. Penulis menyoroti bahwa “imposing the cooperative form on to people who have no other alternative” dan menciptakan ketergantungan pada pemerintah adalah “antipathetic to the homo cooperativus’ principles.” Sebagai ilustrasi, bayangkan koperasi yang mengambil alih pabrik bangkrut untuk menyelamatkan pekerjaan, tetapi harus mengandalkan subsidi negara—sesuatu yang dulu ditolak sebagai intervensi luar.

Proses akumulasi ini mengubah koperasi dari dalam. Mereka tidak lagi bisa mengandalkan idealisme untuk mendapatkan dukungan publik atau menghindari kompetisi pasar. Penulis menyimpulkan bahwa koperasi “are gradually discovering—maybe inventing—a new discourse,” yang melegitimasi metamorfosis mereka dengan logika pragmatis.

Dua Tipe Homo Cooperativus

Penulis membedakan dua tipe homo cooperativus yang muncul dari metamorfosis ini, mencerminkan pergeseran dari idealisme historis ke pragmatisme modern:

a. Homo Cooperativus Epistemologicus (HCE)

Homo Cooperativus Epistemologicus adalah sosok idealis dari wacana koperasi tradisional, yang digambarkan sebagai “a quasi-mythical figure equipped with an arsenal of principles/norms.” Ia adalah homo cooperativus yang dibahas dalam teks klasik seperti karya Holyoake (1908) dan Pfeiffer (1982), yang “pronouncing his desire to change the world and to better human condition.” Bagi HCE, kompromi dengan kapitalisme adalah “devilish practices,” dan aliansi dengan kekuatan kapitalis dianggap sebagai pengkhianatan terhadap identitas koperasi.

Namun, HCE “practically nonexistent” dalam praktik modern. Ia hanya ada sebagai “a pale copy” yang digunakan oleh generasi baru untuk tiga tujuan: untuk membenarkan tindakan mereka, untuk menegaskan perbedaan mereka, atau untuk mengklaim bahwa mereka masih setia pada “spirit” koperasi. Penulis mencatat bahwa HCE berbicara dalam “a real theological language,” seperti pendeta yang membaca kitab suci lama tetapi tidak lagi memimpin jemaat. Sebagai ilustrasi, bayangkan HCE sebagai pendiri koperasi abad ke-19 yang menolak bank konvensional demi iuran anggota, sebuah gambaran yang kini hanya ada dalam buku sejarah.

b. Homo Cooperativus Pragmaticus (HCP)

Homo Cooperativus Pragmaticus adalah tipe yang dominan saat ini, yang “does not seem to be very concerned with their implementation in his concrete activities.” Ia adalah produk dari tekanan kapitalisme teknologi, yang “forced to compromise his principles and betray his epistemological ancestor” demi kelangsungan koperasi. HCP menggunakan “a discourse permeated with a capitalist verbiage” yang dianggap netral dan sesuai dengan era modern, meskipun tetap berbicara tentang prinsip dan etika dalam wacananya.

Pragmatisme HCP didorong oleh keyakinan bahwa ia “is convinced that he is working for the welfare of the cooperative movement and society in general.” Sebagai contoh, ia mungkin adalah manajer koperasi yang bernegosiasi dengan bank besar untuk mendapatkan pinjaman atau dengan pemerintah untuk subsidi, tindakan yang tak terbayangkan oleh HCE. Penulis menegaskan bahwa HCP adalah realitas hidup koperasi saat ini.

AspekHomo Cooperativus EpistemologicusHomo Cooperativus Pragmaticus
PendekatanBerbasis teori dan konsepBerbasis praktik dan pengalaman
Fokus UtamaPengembangan model dan prinsip koperasiImplementasi koperasi dalam kehidupan nyata
Sumber PengetahuanStudi akademik dan literaturLapangan dan pengalaman langsung
Orientasi KeputusanNormatif dan idealisKontekstual dan adaptif
Peran KoperasiLaboratorium sosial dan pengembangan gagasanAlat ekonomi dan kesejahteraan anggota
Metode PengembanganRiset, diskusi, dan pengajaranEksperimen bisnis dan operasional
Indikator KeberhasilanProduksi ilmu dan pemikiran baruKeberlanjutan dan profitabilitas koperasi
Risiko dan TantanganKurang aplikatif jika tidak dihubungkan dengan praktikTerkadang kurang memperhatikan prinsip dasar koperasi

Kedua tipe itu menunjukkan pergeseran besar dalam koperasi. HCE adalah warisan epistemologis yang kini hanya simbol, sementara HCP adalah pelaku pragmatis yang beradaptasi dengan dunia baru. Penulis menyimpulkan, “We have found a non-existent, homo cooperativus epistemologicus and an existing, homo cooperativus pragmaticus.” Pergeseran ini mencerminkan bagaimana koperasi harus meninggalkan idealisme murni untuk bertahan, meskipun itu berarti kehilangan sebagian dari karakter aslinya.

Kesimpulan

Metamorfosis koperasi adalah cerminan dari perjuangan mereka dalam menyeimbangkan identitas historis dengan tuntutan kapitalisme teknologi. Dari desa kecil yang damai, koperasi kini harus hidup di kota besar yang penuh persaingan. Generasi baru homo cooperativus—yang pragmatis—telah mengambil alih, meninggalkan bayangan idealisnya di masa lalu. Masa depan koperasi bergantung pada kemampuan mereka untuk terus beradaptasi, meskipun itu berarti mengorbankan karakter asli yang pernah menjadi kebanggaan mereka. []


Disusun oleh Divisi Manajemen Pengetahuan ICCI. Peringkasan dibantu AI dengan akurasi 95% dan ditinjau kembali oleh tim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *